Prospek Obligasi Pemerintah 2026: Analisis & Faktor Pendorong Keuntungan

Img AAQtLGt

MNCDUIT.COM – JAKARTA. Prospek pasar obligasi pemerintah di tahun 2026 diproyeksikan akan membukukan kinerja cemerlang. Optimisme ini didukung oleh sinergi bauran kebijakan Bank Indonesia (BI) yang akomodatif, fundamental eksternal Indonesia yang relatif kuat, serta basis permintaan domestik yang semakin dalam.

Menurut pandangan Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede, ada beberapa pendorong utama yang menopang tren positif ini. Pertama, kebijakan moneter domestik telah memasuki fase longgar, tercermin dari BI-Rate yang stabil di 4,75%. Bauran kebijakan BI turut mendorong transmisi suku bunga kredit, menambah likuiditas di pasar, dan memperkuat pasar sekunder melalui berbagai instrumen likuiditas serta pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder jika diperlukan.Img AAQtLGt

Kedua, sentimen positif juga datang dari fondasi eksternal yang tangguh. Neraca pembayaran Indonesia tetap terjaga dengan baik, cadangan devisa berada pada level yang memadai, dan surplus perdagangan terus berlanjut. Kondisi ini secara signifikan mengurangi premi risiko bagi investor dan turut mendorong permintaan SBN di pasar domestik.

Ketiga, permintaan dari investor domestik menunjukkan kekuatan yang solid. Josua menjelaskan bahwa di pasar perdana, rasio bid-to-cover SBN cenderung tinggi, dengan nilai penawaran yang masuk per lelang meningkat tajam pada tahun 2025. Sementara itu, di pasar sekunder, aktivitas transaksi sangat aktif dan basis investor kian terdiversifikasi serta mendalam.

Menakar Prospek Obligasi Pemerintah pada Tahun 2026

Dengan kombinasi kebijakan BI yang mendukung, fundamental eksternal yang kokoh, dan permintaan domestik yang substansial, prospek SBN tahun depan dinilai sangat positif. “Kupon riil obligasi pemerintah Indonesia tetap menarik dibanding negara-negara di kawasan, volatilitas menunjukkan penurunan, dan ruang penurunan imbal hasil masih terbuka lebar apabila inflasi dapat dijaga tetap rendah dan nilai tukar rupiah stabil,” terang Josua kepada Kontan pada Senin, 10 November 2025.

Mengenai proyeksi tren imbal hasil atau yield obligasi pemerintah, Josua memperkirakan yield SUN 10 tahun akan berada di kisaran 6,10 – 6,30% pada akhir tahun. Angka ini menjadi jangkar yang mengindikasikan ruang penurunan yang terbatas namun tetap ada, terutama jika didukung oleh faktor-faktor global. Meskipun demikian, skenario kenaikan ke kisaran 6,30 – 6,60% tetap perlu diantisipasi, terutama jika data inflasi di Amerika Serikat kembali menguat, penundaan penurunan suku bunga global terjadi, atau adanya lonjakan kebutuhan pembiayaan yang memadat di awal tahun.

Senada dengan pandangan Josua, Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro juga menyampaikan bahwa prospek obligasi pemerintah masih akan sangat baik di tahun 2026. Hal ini didukung oleh tren suku bunga yang cenderung menurun, komitmen pemerintah dalam menjaga defisit APBN di bawah 3%, serta potensi inflows atau aliran modal asing masuk ke Indonesia. Andry memproyeksikan bahwa tren yield obligasi pada tahun depan akan bergerak di kisaran 5,9% – 6%.

Andry lebih lanjut membeberkan strategi krusial yang perlu dicermati oleh investor saat ini, yakni untuk membangun portofolio investasi. “Mengingat tren bunga yang turun, ini adalah momentum tepat untuk membangun portofolio guna mendapatkan yield yang menarik karena ke depan akan semakin sulit mendapatkan yield setinggi saat ini. Prioritaskan pembangunan portofolio obligasi korporasi untuk korporasi dengan rating yang bagus,” ujar Andry.

Sementara itu, Josua Pardede juga menyampaikan beberapa strategi komprehensif bagi investor obligasi mulai dari sekarang hingga tahun depan. Pertama, menempatkan inti investasi pada tenor menengah, yaitu 5 hingga 10 tahun. Dengan slope kurva imbal hasil yang masih positif namun menipis, tenor menengah memberikan keseimbangan optimal antara carry (pendapatan bunga) dan sensitivitas harga, sekaligus menawarkan likuiditas tersier terbaik.

Kedua, mengombinasikan SBN tenor 2-3 tahun untuk fleksibilitas dalam menghadapi potensi risiko pasar dan memanfaatkan penurunan suku bunga lebih cepat. Strategi ini juga dapat dipadukan dengan SBN tenor 15-20 tahun untuk mengunci yield riil yang tinggi serta potensi capital gain yang signifikan jika kurva obligasi melandai.

Tren Suku Bunga Rendah Dinilai Jadi Momentum Tepat Jual Obligasi Pemerintah

Ketiga, memanfaatkan momentum lelang SBN dan pasar sekunder. Rasio bid-to-cover yang tinggi di pasar perdana menunjukkan bahwa momen beli terbaik kerap terjadi saat lelang tertentu, terutama ketika penawaran seri SBN lebih banyak. Selain itu, diversifikasi instrumen dan mata uang juga penting, serta pengelolaan risiko nilai tukar dan likuiditas yang cermat. Terakhir, investor obligasi diwajibkan untuk memantau tiga penentu kunci yang akan memengaruhi pergerakan pasar.

“Pantau tiga penentu kunci ini: data inflasi dan tenaga kerja Amerika Serikat serta arah imbal hasil global; keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI dan kecepatan transmisi suku bunga perbankan; serta neraca eksternal Indonesia, khususnya surplus dagang yang berkelanjutan untuk memperkuat rupiah dan menekan premi risiko SBN,” pungkas Josua.

Ringkasan

Prospek pasar obligasi pemerintah (SBN) di tahun 2026 diproyeksikan cemerlang, didukung oleh kebijakan Bank Indonesia yang akomodatif, fundamental eksternal Indonesia yang kuat, dan permintaan domestik yang mendalam. Josua Pardede dari Permata Bank menyoroti stabilitas BI-Rate, neraca pembayaran yang terjaga, dan rasio bid-to-cover SBN yang tinggi. Senada, Andry Asmoro dari Bank Mandiri menambahkan bahwa tren suku bunga menurun dan komitmen pemerintah terhadap defisit APBN di bawah 3% turut menopang optimisme ini.

Josua memproyeksikan yield SUN 10 tahun akan berada di kisaran 6,10 – 6,30% pada akhir tahun, sementara Andry memperkirakan antara 5,9% – 6% untuk tahun depan. Para ekonom menyarankan investor untuk membangun portofolio obligasi sekarang, memprioritaskan tenor menengah (5-10 tahun) atau obligasi korporasi berperingkat baik. Investor juga perlu mencermati data inflasi AS, keputusan RDG BI, dan neraca eksternal Indonesia untuk mengelola potensi risiko.

You might also like