MNCDUIT.COM – JAKARTA. Saham bank-bank bermodal jumbo, atau yang sering disebut sebagai big banks, kini kembali menjadi incaran utama para investor asing. Ketertarikan ini didorong oleh valuasi saham yang dinilai sudah undervalued serta serangkaian sentimen makroekonomi positif, termasuk ekspektasi pemotongan suku bunga oleh The Fed pada awal tahun depan.
Dalam jajaran bank-bank papan atas ini, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) secara kompak mencatatkan net foreign buy dalam dua pekan terakhir. Data dari Stockbit menunjukkan bahwa hingga akhir perdagangan Selasa (4/11/2025), BBCA memimpin dengan akumulasi net foreign buy sebesar Rp 2,83 triliun sejak Rabu (22/10/2025). Di periode yang sama, BMRI dan BBRI juga mencatat net foreign buy masing-masing sebesar Rp 868,72 miliar dan Rp 210,05 miliar. Sementara itu, BBNI turut membukukan net foreign buy sebesar Rp 61,98 miliar, meskipun jumlahnya lebih terbatas dibandingkan ketiga bank lainnya.
Pengamat pasar modal dan Founder Republik Investor, Hendra Wardana, menjelaskan bahwa terbatasnya daya tarik BBNI bagi dana asing disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, kinerja laba tahun berjalan BBNI yang cenderung lemah, dengan penurunan sebesar 7,3% secara tahunan (year-on-year/YoY) menjadi Rp 15,11 triliun per September 2025. Kedua, BBNI menghadapi risiko efisiensi dan biaya pencadangan (provisioning cost) yang sedikit lebih tinggi dibandingkan bank-bank pesaingnya. Meski demikian, Hendra menambahkan bahwa BBNI saat ini sebenarnya cukup menarik karena harganya sedang diskon sekitar 12%. Kondisi ini menjadikan BBNI menarik untuk strategi trading buy, terutama jika terjadi rotasi sektor atau pembalikan sentimen investor asing di masa mendatang.
Menilik diskon valuasi, Analis Korea Investment & Sekuritas Indonesia (KISI) Muhammad Wafi menyoroti bahwa pada dasarnya valuasi saham para big banks memang sudah undervalued. Momen inilah yang dimanfaatkan oleh investor asing untuk memulai strategi bottom fishing, yaitu membeli saham ketika harganya sedang rendah. Di antara semua bank jumbo, BBCA menjadi incaran utama berkat likuiditasnya yang tinggi dan fundamentalnya yang solid. Lebih dari itu, Wafi menilai BBCA sebagai proxy (tolok ukur) bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
Wafi juga mengemukakan bahwa investor kini melihat kondisi makro domestik yang cenderung stabil, didukung oleh keputusan Bank Indonesia (BI) untuk menahan suku bunga acuan. Sentimen positif dari dalam negeri ini bertepatan dengan ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed pada awal tahun 2026. Dengan mencari imbal hasil yang lebih menarik, dana asing kemudian mengarahkan pilihannya pada pasar Indonesia sebagai salah satu emerging market yang menjanjikan.
Di sisi lain, Maximilianus Nico Demus, Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, mengamati bahwa saham-saham perbankan biasanya mengalami kenaikan menjelang akhir tahun. Fenomena ini, yang dikenal sebagai window dressing, terjadi ketika investor mulai memburu saham-saham besar dengan kinerja baik untuk memperkuat citra portofolio mereka di penghujung tahun.
Nico melihat bahwa sektor perbankan secara keseluruhan masih sangat menarik, dengan fundamental yang ciamik dan potensi pertumbuhan yang cerah. Namun, ia memperkirakan bahwa pergerakan harga saham perbankan mungkin masih akan sulit pulih dalam jangka pendek. Kendati demikian, untuk jangka menengah hingga panjang, prospek saham perbankan tetap sangat menarik, sehingga investor disarankan untuk berinvestasi dengan durasi tersebut.
Secara menyeluruh, Hendra Wardana menilai rotasi dana asing ke sektor perbankan ini merupakan indikasi bahwa investor mulai kembali menaruh kepercayaan pada stabilitas sektor keuangan Indonesia. Ia juga memproyeksikan bahwa saham-saham big banks akan tetap menjadi tulang punggung bagi pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di akhir tahun ini hingga awal tahun 2026.
Terkait rekomendasi investasi, Hendra menyarankan speculative buy untuk saham BBCA, BMRI, dan BBRI dengan target harga masing-masing di level Rp 8.975 per saham, Rp 4.950 per saham, dan Rp 4.370 per saham. Untuk BBNI, ia merekomendasikan trading buy dengan target harga Rp 4.880 per saham. Sementara itu, Wafi melihat BBCA dan BMRI sebagai pilihan safe play dengan target harga Rp 10.200 per saham dan Rp 6.200 per saham. BBRI dianggap menarik untuk mencari imbal hasil dengan target harga Rp 6.000 per saham, dan BBNI berpotensi menjadi catch-up trade jika laporan keuangan kuartal IV nanti menunjukkan kinerja yang lebih solid, dengan target harga Rp 6.800 per saham.
Saham bank-bank bermodal jumbo di Indonesia kembali menjadi incaran investor asing, didorong oleh valuasi yang dianggap undervalued dan sentimen makroekonomi positif, termasuk ekspektasi pemotongan suku bunga The Fed. Bank Central Asia (BBCA), Bank Mandiri (BMRI), Bank Rakyat Indonesia (BBRI), dan Bank Negara Indonesia (BBNI) kompak mencatatkan net foreign buy dalam dua pekan terakhir, dengan BBCA memimpin akumulasi dana asing. Daya tarik BBNI sedikit lebih terbatas karena kinerja laba yang lemah dan risiko efisiensi, meskipun harganya sedang diskon.
Investor asing memanfaatkan momen valuasi yang rendah untuk strategi bottom fishing, dengan BBCA menjadi incaran utama berkat likuiditas dan fundamental yang solid. Kondisi makro domestik yang stabil serta ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed membuat Indonesia menarik bagi dana asing yang mencari imbal hasil. Sektor perbankan dinilai memiliki fundamental ciamik dan prospek jangka menengah hingga panjang yang sangat menarik, meskipun pemulihan harga jangka pendek mungkin masih menantang.