
Kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang memfasilitasi skema business to business (B to B) antara PT Pertamina (Persero) dan badan usaha stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) swasta dinilai sebagai langkah strategis menjaga stabilitas pasokan energi.
Guru Besar Tetap Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Prof. Andy N. Sommeng, menilai mekanisme impor melalui Pertamina bukan sekadar solusi teknis, melainkan strategi memperkuat posisi Indonesia di pasar global.
“Dengan skema B to B, Pertamina bisa membeli dalam volume besar. Bargaining power kita di pasar internasional lebih kuat, logistik lebih efisien, dan stok nasional lebih aman,” ujarnya, Selasa (23/9).
Kebijakan impor ini dipertegas melalui kesepakatan empat poin hasil rapat pemerintah, Pertamina, dan SPBU swasta seperti Shell, BP, dan Vivo pada 19 September 2025.
Kesepakatan itu mencakup pembelian base fuel SPBU swasta dari Pertamina, keterlibatan surveyor independen untuk memastikan kualitas pasokan, mekanisme harga terbuka (open book) agar adil bagi semua pihak, serta jaminan pasokan bisa masuk dalam tujuh hari.
Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyampaikan, kuota impor untuk SPBU swasta tahun ini justru naik 10 persen dari 2024, menjadi 110 persen realisasi tahun lalu.
“Kalau masih kurang, bisa kolaborasi dengan Pertamina. Energi ini menyangkut hajat hidup orang banyak,” kata Bahlil di Jakarta (17/9) lalu.
Dia memastikan cadangan BBM nasional cukup untuk 18–21 hari. “Jadi tidak ada alasan publik meragukan ketersediaan pasokan,” ujarnya.
Lebih lanjut Andy menekankan, peran Pertamina lebih luas dari sekadar importir tunggal. Pertamina menjadi penyangga antara volatilitas harga minyak global dengan kebutuhan domestik.
“Kalau dilepas ke pasar bebas, harga BBM akan dimainkan pasar. Publik, terutama masyarakat kecil, yang akan menanggung dampaknya. Itu sebabnya negara wajib hadir,” jelasnya.
Data Kementerian ESDM menunjukkan, pangsa pasar SPBU swasta saat ini mencapai 15% dari distribusi nasional.
Dengan porsi tersebut, keterlibatan swasta memang penting, namun harus tetap berada dalam kerangka regulasi agar peran Pertamina sebagai representasi negara tidak terganggu.
Meski memberi manfaat jangka pendek, Andy mengingatkan kebijakan impor melalui Pertamina tidak boleh dianggap solusi permanen. Pemerintah harus mempercepat pembangunan kilang dan diversifikasi energi.
“Kebijakan ini adalah jembatan menuju kemandirian energi. Transparansi kompensasi ke Pertamina dan percepatan proyek kilang akan menentukan keberhasilan jangka panjang,” katanya.
Dengan langkah ini, publik diharapkan semakin yakin bahwa pasokan BBM nasional tetap stabil, harga terkendali, dan tata kelola energi berjalan sesuai amanat konstitusi.