
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali menunjukkan performa gemilang, menorehkan rekor baru dengan konsisten berada di zona hijau selama empat hari perdagangan berturut-turut. Momentum positif ini bahkan berhasil mendorong indeks menembus level krusial 7.600.
Pada penutupan perdagangan Senin (28/7/2025), IHSG mencatat penguatan signifikan sebesar 0,94% atau setara dengan penambahan 71,26 poin, mengakhiri sesi di level 7.614,76. Pencapaian ini tidak hanya mengukuhkan performa solid, tetapi juga menandai rekor tertinggi yang berhasil dicapai IHSG sepanjang tahun berjalan.
Secara akumulatif, indeks telah membukukan kenaikan impresif sebesar 7,55% sejak awal tahun. Fenomena penguatan IHSG yang berkelanjutan ini, sejak awal tahun, utamanya dipengaruhi oleh lonjakan harga sejumlah saham milik para konglomerat terkemuka di Indonesia.
Berdasarkan data statistik Bursa Efek Indonesia (BEI) per Senin (28/7), PT DCI Indonesia Tbk (DCII), emiten milik konglomerat Toto Sugiri dan Anthoni Salim, tampil sebagai kontributor terbesar. Saham DCII melesat 723,57% secara year-to-date (ytd), memberikan sumbangan signifikan sebesar 355,02 poin terhadap kenaikan indeks.
IHSG Tembus 7.600 pada Senin (28/7) Meski Net Sell Asing Tipis
Mengikuti jejak DCII, saham PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA) dari Grup Sinarmas juga memberikan kontribusi signifikan dengan kenaikan 78,11% ytd, menyumbangkan 111,19 poin terhadap IHSG. Tak ketinggalan, saham PT Barito Pacific Tbk (BRPT) milik taipan Prajogo Pangestu turut melonjak 168,48% ytd, menambah 96,15 poin ke pergerakan indeks. Di samping itu, saham SMMA dan CDIA juga tercatat sebagai penopang penting bagi laju IHSG sepanjang tahun ini.
Mencermati fenomena ini, pengamat pasar modal sekaligus Direktur Avere Investama, Teguh Hidayat, mengungkapkan bahwa kondisi kenaikan IHSG kali ini terbilang tidak biasa dan menyimpang dari pola umumnya. Menurut Teguh, dalam kondisi pasar yang normal, saham-saham yang secara tradisional menjadi pilar utama penguatan indeks adalah emiten perbankan berkapitalisasi besar atau big cap, seperti BBCA, BMRI, atau BBRI.
Namun, kondisi saat ini menunjukkan anomali: meskipun saham-saham big cap tersebut masih belum menunjukkan pelemahan, perannya sebagai motor penggerak indeks justru tergantikan. Sebaliknya, Teguh menyoroti fenomena kenaikan tajam pada saham-saham milik konglomerat yang, secara fundamental, tergolong tidak likuid namun memiliki kapitalisasi pasar yang sangat besar. Dua emiten yang menjadi pusat perhatian adalah PT DCI Indonesia Tbk (DCII) dari Grup Salim, dan PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA), bagian dari Grup Sinarmas.
“DCII sekarang market cap-nya sudah tembus Rp 800 triliun lebih di harga saat ini. Kenaikannya sebenarnya engga wajar atau aneh begitu. DSSA juga sama,” papar Teguh kepada Kontan, Senin (28/7) malam, menekankan kejanggalan dalam kenaikan harga saham-saham tersebut.
Lebih lanjut, Teguh menganalisis bahwa lonjakan harga saham-saham tersebut tidak didorong oleh aksi beli investor asing maupun lokal secara masif. Ia mendasari penilaiannya pada nilai transaksi di pasar yang cenderung sepi, serta fakta bahwa investor asing masih terus mencatatkan net sell sejak awal tahun. “Jadi investor lokal mungkin ada belanja masuk ya, sedikit. Mungkin juga sebagian masuk ke saham-saham yang punya-punya konglomerat itu tadi. Tapi kalau investor asing itu mereka jangankan belanja, mereka justru jualan begitu,” ucap Teguh, menggarisbawahi kontrasnya perilaku investor.
Teguh melanjutkan penjelasannya dengan memaparkan bahwa kepemilikan saham pada emiten-emiten berkapitalisasi besar, seperti BBCA, BBRI, BMRI, ASII, dan TLKM, mayoritas didominasi oleh investor asing. Ia mencontohkan BBRI, di mana 60% sahamnya dimiliki oleh pemerintah, sementara 40% sisanya beredar di publik. Dari porsi publik ini, sekitar 70% dikuasai oleh investor asing, dan hanya 30% oleh investor domestik. Dengan demikian, jika kepemilikan pemerintah tidak dihitung, dominasi investor asing atas saham-saham blue chip seperti BBRI menjadi sangat nyata. Ironisnya, saat ini, investor asing justru gencar melakukan aksi jual yang berkelanjutan.
Inilah yang menjadi penyebab utama tekanan pada harga saham-saham tradisional yang selama ini menjadi penopang utama IHSG. Namun, hal yang paling menarik adalah, di tengah tekanan ini, IHSG tetap mampu mencatatkan penguatan signifikan. Fenomena ini dijelaskan oleh lonjakan harga luar biasa pada sejumlah saham tertentu milik konglomerat, yang meskipun dikenal tidak likuid, mengalami kenaikan harga ekstrem hingga kapitalisasi pasarnya melejit secara signifikan. Teguh menegaskan bahwa fenomena pasar seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah bursa.
“Dulu kalau BBCA, BBRI, dan saham-saham sejenisnya turun, maka IHSG ikut turun. Sekarang enggak. IHSG tetap naik karena terdorong oleh saham-saham yang harganya melonjak sangat tinggi, padahal tidak ada aksi korporasi atau kabar fundamental yang mendasari kenaikannya,” jelas Teguh, menyoroti disrupsi pola pasar yang ada.
IHSG Rentan Koreksi, Cek Rekomendasi Saham, Selasa (29/7)
Teguh lebih lanjut menegaskan bahwa jika lonjakan harga saham-saham tersebut memang dipicu oleh sentimen buyback yang terjadi pada awal tahun, dampaknya seharusnya terasa merata ke seluruh saham di bursa, bukan hanya terbatas pada emiten tertentu seperti DCII. “Ada market maker-nya semua begitu,” tegas Teguh, mengindikasikan adanya pihak-pihak tertentu yang mengatur pergerakan harga.
Kondisi pasar yang tidak biasa ini, menurut Teguh, justru membuat banyak investor, termasuk institusi besar seperti dana pensiun dan manajemen aset, merasa enggan untuk masuk ke pasar saham. “Mereka tunggu IHSG koreksi supaya bisa beli saham-saham di harga murah. Sekarang benar sahamnya sudah murah, tapi kok IHSG naik terus. Jadi tambah sepi, dana pensiun dan segala macam jadi enggak berani lagi,” tutur Teguh, menjelaskan dilema yang dihadapi investor institusi saat ini.
Kinerja Indeks Saham Syariah Melampaui IHSG, Simak Rekomendasi Sahamnya
Boy Thohir dan Pandu Sjahrir Yakin IHSG Sentuh Level 8.000
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil mencetak rekor tertinggi baru di level 7.614,76 pada penutupan perdagangan Senin (28/7/2025), meningkat 0,94% dan secara akumulatif naik 7,55% sejak awal tahun. Penguatan signifikan ini utamanya didorong oleh lonjakan harga saham-saham milik konglomerat. PT DCI Indonesia Tbk (DCII), PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA), dan PT Barito Pacific Tbk (BRPT) tercatat sebagai kontributor terbesar terhadap kenaikan indeks.
Pengamat pasar modal Teguh Hidayat menilai kondisi kenaikan IHSG kali ini tidak biasa karena pendorongnya bukan lagi saham perbankan kapitalisasi besar seperti biasanya. Meskipun investor asing mencatatkan aksi jual bersih dan nilai transaksi cenderung sepi, IHSG tetap naik karena lonjakan harga saham konglomerat yang tidak likuid namun memiliki kapitalisasi pasar besar. Fenomena ini, yang belum pernah terjadi sebelumnya, membuat banyak investor institusi enggan masuk ke pasar, menunggu adanya koreksi.