Pilkada DPRD? Wamendagri: Jangan Hanya karena Biaya Politik Mahal!

Img AA1GQz2B

Wacana pengembalian sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali mencuat, dan ditanggapi serius oleh Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto.

Dalam pandangannya, Bima Arya menegaskan bahwa usulan perubahan sistem pilkada tersebut seharusnya tidak semata-mata didasari oleh isu biaya politik yang tinggi. Ia berpendapat, persoalan mahalnya biaya politik memiliki banyak dimensi kompleks yang tidak bisa disederhanakan.

“Jangan sampai kita sederhanakan, bahwa karena politiknya mahal [maka] kembali ke DPRD. Tidak seperti itu,” ujar Bima Arya saat berpartisipasi dalam diskusi daring yang diselenggarakan Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, pada Minggu (27/7).

Menurut politikus Partai Amanat Nasional ini, tingginya biaya politik seringkali bersumber dari kelemahan internal partai politik, seperti kurangnya pembangunan kaderisasi dan advokasi yang minim. Ia juga mendukung wacana peningkatan dana untuk partai politik, meskipun mengakui bahwa implementasinya mungkin belum populer mengingat kondisi saat ini.

“Pendanaan politik ini sangat penting sekali,” tambahnya, menekankan urgensi penguatan finansial partai.

Bima Arya juga menyoroti bahwa bahkan negara-negara dengan sistem demokrasi yang telah mapan, seperti di Eropa, masih menghadapi permasalahan serupa. Oleh karenanya, ia menyimpulkan bahwa tidak ada sistem politik yang sepenuhnya sempurna.

Sebagai solusi, Bima Arya menggarisbawahi pentingnya inovasi dalam penyelenggaraan pemilu. Ia menyarankan agar penyelenggara pemilihan mampu mengadopsi teknologi canggih dalam proses pemungutan dan penghitungan suara, sebagai upaya konkret untuk memangkas biaya politik yang mahal.

“Mari kita pikirkan bersama-sama bagaimana sistem pemilu yang mengarah pada penguatan lembaga partai politik,” ajaknya, menyerukan kolaborasi untuk mencari solusi jangka panjang.

Pernyataan Bima Arya ini muncul menyusul usulan kontroversial dari Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Jazilul Fawaid, yang sebelumnya mengemukakan gagasan agar pemilihan bupati dan wali kota kembali diserahkan kepada DPRD tingkat kabupaten/kota.

Jazilul Fawaid, yang juga merupakan anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menjelaskan bahwa usulan ini merupakan respons terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilihan umum nasional dan daerah. Menurutnya, putusan MK tersebut dinilai kurang komprehensif, sebab seharusnya turut mempertimbangkan berbagai aspek lain, termasuk sistem kepartaian dan tata kelola pemerintahan di daerah.

“Oleh sebab itu, PKB, atau saya minimal, mengusulkan UU [Pemilu] direvisi. Saya akan minta untuk pemilihan Bupati, Wali Kota berikan saja ke DPRD tingkat dua, supaya lebih simpel, kan MK ingin yang simpel,” tegas Jazilul dari Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Jumat (4/7), mengakhiri perdebatan yang masih terus bergulir mengenai masa depan sistem pilkada di Indonesia.

Ringkasan

Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto menanggapi wacana pengembalian sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Ia menegaskan bahwa usulan perubahan tersebut seharusnya tidak didasari semata-mata oleh isu biaya politik yang tinggi, karena persoalan tersebut memiliki banyak dimensi kompleks dan tidak bisa disederhanakan.

Menurut Bima Arya, tingginya biaya politik seringkali bersumber dari kelemahan internal partai politik, sehingga inovasi dalam pemilu dan penguatan lembaga partai sangat penting. Wacana pengembalian pilkada ke DPRD sendiri muncul dari usulan Ketua Fraksi PKB Jazilul Fawaid, sebagai respons atas putusan Mahkamah Konstitusi yang dinilai kurang komprehensif.

You might also like