Alkes AS Dominasi RI? Ini Efeknya ke Saham Emiten Kesehatan!

JAKARTA – Pasar alat kesehatan (alkes) di Indonesia segera menyambut serbuan produk-produk asal Amerika Serikat (AS). Kebijakan ini merupakan implikasi langsung dari kesepakatan dagang antara AS dan Indonesia yang baru-baru ini tercapai, membuka babak baru persaingan bagi industri alkes di Tanah Air.

Kesepakatan bilateral ini, sebagaimana dilansir dari laman Gedung Putih, mengindikasikan bahwa AS akan memangkas tarif impor untuk produk Indonesia menjadi 19% dari total barang, yang akan berlaku efektif pada April 2025. Sebagai imbalannya, Indonesia berkomitmen untuk menghapuskan sekitar 99% bea masuk bagi beragam produk industri dan pertanian dari AS. Ini mencakup komoditas vital seperti daging, buah, kedelai, produk industri seperti baja dan kimia, serta yang paling relevan, alat kesehatan.Img AA1IZATj

Lebih spesifik lagi, untuk produk alkes AS, kesepakatan tersebut mencakup pembebasan kewajiban pelabelan dan sertifikasi ketika memasuki pasar Indonesia. Ini berarti, seperti yang tertulis dalam pernyataan resmi, Indonesia akan menerima sertifikat dari FDA (Badan Pengawas Obat dan Makanan AS) serta izin edar awal untuk alat medis dan produk farmasi. Selain itu, beberapa kewajiban pelabelan akan dihapus, dan ekspor kosmetik, alat kesehatan, serta produk manufaktur lainnya akan dibebaskan dari sejumlah persyaratan tertentu.

Namun, di balik peluang tersebut, kesepakatan ini memunculkan kekhawatiran signifikan. Arinda Izzaty, Junior Equity Analyst Pilarmas Sekuritas, menilai bahwa kebijakan ini berpotensi menimbulkan dampak negatif yang substansial bagi distributor alkes lokal. Salah satu tantangan utama adalah intensifikasi persaingan, baik dari segi harga maupun kualitas produk. Produk-produk AS kini dapat menembus pasar Indonesia dengan lebih cepat dan biaya yang lebih rendah, minim hambatan administratif, sehingga membuat produk lokal menghadapi kesulitan besar dalam bersaing.

Arinda menambahkan, emiten yang selama ini bergantung pada penjualan atau produksi alkes melalui kemitraan manufaktur lokal kemungkinan besar akan terdampak. Hal ini disebabkan adanya kecenderungan rumah sakit dan klinik untuk beralih menggunakan produk impor AS. Lebih jauh lagi, margin keuntungan emiten terkait berpotensi terkikis drastis. Untuk tetap kompetitif, distributor lokal mungkin terpaksa memangkas harga jual atau justru harus mengalokasikan anggaran lebih besar untuk pemasaran dan adaptasi teknologi guna mempertahankan pangsa pasar mereka.

Efek domino dari situasi ini adalah potensi pengurangan belanja modal dan tenaga kerja oleh emiten, yang pada akhirnya dapat memicu terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK). Senada dengan pandangan tersebut, Indy Naila, Analis Edvisor Profina Visindo, juga menggarisbawahi bahwa kesepakatan ini dapat menekan margin keuntungan industri alkes lokal. Hal ini terjadi karena ada potensi pemangkasan harga produk dan menyempitnya pangsa pasar yang dapat dijangkau.

Untuk mengantisipasi dan memitigasi dampak negatif yang mungkin timbul, Indy menyarankan agar emiten terkait dapat mempertimbangkan strategi diversifikasi pendapatan, salah satunya melalui kerja sama dengan entitas di AS. Alternatif lain adalah berinovasi dalam pengembangan produk alkes lokal, meskipun hal ini tentu akan bergantung pada ketersediaan kas dan menuntut strategi ekspansi yang matang. Arinda Izzaty turut menyetujui pendekatan kolaborasi ini, menekankan bahwa jika dikelola dengan cerdas, kemitraan dengan jenama AS justru bisa membuka peluang emas untuk menjadi distributor resmi.

Selain opsi kerja sama, Arinda juga menyarankan agar emiten proaktif dalam mengembangkan produk-produk baru yang lebih spesifik dan relevan dengan kebutuhan pasar lokal. Contohnya, penyediaan alkes untuk daerah terpencil atau solusi yang lebih hemat energi. Strategi penting lainnya adalah meningkatkan standar kualitas produk secara signifikan, tidak hanya untuk memenangkan persaingan di pasar domestik tetapi juga untuk membuka peluang menembus pasar ekspor.

Meskipun demikian, di tengah potensi tantangan, Arinda tetap optimis terhadap pertumbuhan kebutuhan alat kesehatan dalam jangka panjang. Secara makro, faktor-faktor seperti tren aging population (populasi menua), digitalisasi layanan rumah sakit, serta dukungan dari program BPJS Kesehatan, akan terus menjadi pendorong utama permintaan alkes. Namun, untuk memperkuat posisi dan daya saing industri alkes domestik, pemerintah diharapkan dapat mengeluarkan stimulus yang relevan atau memperkuat regulasi yang mendukung sektor ini.

Bagi para investor, Indy Naila merekomendasikan untuk mencermati saham PT Medikaloka Hermina Tbk (HEAL) dalam waktu dekat, dengan target harga sebesar Rp 1.695 per saham. Ini menunjukkan bahwa di tengah dinamika pasar, peluang investasi di sektor kesehatan tetap terbuka bagi mereka yang jeli.

Ringkasan

Indonesia akan menyambut serbuan produk alat kesehatan (alkes) dari Amerika Serikat sebagai hasil kesepakatan dagang bilateral. Kesepakatan ini mencakup penghapusan hampir 99% bea masuk untuk produk AS, termasuk alkes, serta pembebasan persyaratan pelabelan dan sertifikasi bagi alkes AS di pasar Indonesia. Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran akan persaingan ketat bagi distributor alkes lokal, berpotensi menekan margin keuntungan dan pangsa pasar emiten kesehatan di Tanah Air.

Untuk menghadapi dampak ini, analis menyarankan emiten alkes lokal melakukan diversifikasi pendapatan, seperti kerja sama dengan entitas AS, atau inovasi produk yang relevan dengan pasar domestik serta peningkatan kualitas. Meskipun demikian, kebutuhan alat kesehatan diproyeksikan tumbuh jangka panjang didorong oleh populasi menua dan digitalisasi layanan rumah sakit. Pemerintah diharapkan dapat memberikan stimulus untuk memperkuat posisi industri alkes domestik.

You might also like