Energi Terbarukan 100% di 2035: Ambisius, Tapi Dari Mana Dananya?

Pemerintah Indonesia kini menargetkan ambisi besar untuk mencapai 100% bauran energi terbarukan dalam kelistrikan nasional pada tahun 2035. Target ini menjadi penanda akselerasi signifikan, lima tahun lebih cepat dari proyeksi awal tahun 2040, menunjukkan komitmen kuat terhadap transisi energi bersih. Percepatan target ini bahkan sempat dilontarkan oleh Presiden Prabowo Subianto saat kunjungan ke Brasil awal Juli lalu, menggarisbawahi optimisme pemerintah bahwa percepatan ini sangat mungkin tercapai.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya tantangan besar. Proyeksi pemerintah hingga tahun 2034 memperkirakan bauran energi terbarukan baru akan mencapai sekitar 35%, meningkat tajam dari posisi saat ini di kisaran 14%. Untuk menutup kesenjangan menuju target yang lebih ambisius ini, diperlukan investasi kolosal senilai sekitar US$ 171 miliar. Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno, menjelaskan bahwa pendanaan masif ini akan diupayakan melalui keterlibatan aktif pihak swasta. Dalam forum Indonesia Net-Zero Summit 2025 di Jakarta, ia menyatakan bahwa 70% dari kebutuhan investasi ini diharapkan berasal dari sektor swasta, sehingga tidak akan membebani keuangan pemerintah secara signifikan.

Peran pemerintah dalam skema ini adalah menciptakan ekosistem yang kondusif bagi investor. Ini mencakup perumusan kebijakan yang menarik, penetapan tarif yang kompetitif untuk energi terbarukan, serta pengalihan subsidi yang sebelumnya dialokasikan untuk energi fosil. Selain itu, transisi energi di Indonesia juga membutuhkan investasi besar dalam infrastruktur distribusi, guna memastikan sumber energi bersih dapat menjangkau lokasi dengan permintaan tinggi. Meskipun modal yang dibutuhkan sangat besar, Eddy menegaskan bahwa investasi ini esensial untuk mencegah dampak yang lebih parah dari penggunaan energi fosil di masa mendatang.

Momentum transisi energi ini adalah peluang emas yang tidak boleh dilewatkan oleh Indonesia, mengingat potensi teknis energi terbarukan yang luar biasa, mencapai lebih dari 3.686 GW. Menurut Eddy, kelambanan dalam mengadopsi energi terbarukan dapat mengakibatkan berpalingnya investasi asing ke negara lain. Lebih jauh, produk-produk ekspor Indonesia berisiko dikenakan pajak karbon, yang pada akhirnya akan melemahkan daya saing di pasar global. Oleh karena itu, transisi energi bukan lagi pilihan, melainkan keharusan strategis untuk menjaga daya saing ekonomi dan posisi Indonesia di panggung dunia.

Tetap Tekan Pendanaan dari Negara Maju

Di tengah dinamika geopolitik global, Indonesia terus mengukuhkan komitmen transisi energi melalui berbagai kesepakatan multilateral dan organisasi antar-pemerintah. Wakil Menteri Lingkungan Hidup, Diaz Hendropriyono, menegaskan pentingnya terus mendorong pendanaan transisi energi dari negara-negara maju. Ia menyoroti bahwa target Indonesia dalam Second Nationally Determined Contribution (NDC) untuk periode 2031-2035 semakin ambisius, dan dokumen ini sedang dalam tahap finalisasi sebelum dikirimkan ke COP30 pada Agustus mendatang. Diaz menekankan bahwa kesepakatan multilateral semacam ini berfungsi sebagai komitmen yang mengikat, memastikan setiap upaya sejalan dengan target penurunan emisi.

Namun, ia juga kembali menyuarakan kebutuhan akan pendanaan transisi energi yang dijanjikan oleh negara-negara maju sebesar US$ 100 miliar per tahun. Realisasinya pada tahun 2022 baru mencapai US$ 67 miliar, jauh dari angka yang diharapkan. Diaz menegaskan bahwa untuk tetap fokus pada isu iklim, Indonesia harus terus mendesak agar pendanaan dari negara-negara maju, khususnya yang termasuk dalam Annex 1, dapat terealisasi sepenuhnya.

Perlu Solusi dari Indonesia untuk Indonesia

Di sisi lain, Pengamat Ekonom Lingkungan Andhyta Firselly Utami (Afu) menyoroti perlunya kejelasan arah kebijakan pemerintah Indonesia. Afu melihat adanya dualisme kebijakan yang perlu diselaraskan, seperti keinginan untuk menurunkan tingkat deforestasi yang beriringan dengan program food estate yang memerlukan pembukaan lahan. Selain itu, Afu juga menekankan pentingnya perlindungan domestik yang harus dilakukan pemerintah Indonesia dalam menghadapi dampak perubahan iklim.

Ia mengakui narasi tentang tanggung jawab historis negara-negara maju di belahan bumi utara dan ekonomi industri untuk menurunkan emisi mereka adalah valid. Ini merupakan area krusial di mana Indonesia memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban dan dukungan dari negara-negara tersebut. Akan tetapi, pemerintah Indonesia juga memiliki tanggung jawab besar untuk menyelesaikan dampak domestik dari perubahan iklim. Bencana iklim yang nyata dialami di dalam negeri dan ancaman polusi udara yang dihirup setiap hari adalah masalah domestik yang membutuhkan solusi domestik pula. Menurut Afu, kedua komponen ini harus seimbang: Indonesia berhak meminta bantuan pendanaan, sumber daya, dan peningkatan kapasitas sebagai bagian dari komitmen global, namun pada saat yang sama, wajib mengelola risiko yang bersifat domestik secara proaktif.

Ringkasan

Pemerintah Indonesia menargetkan pencapaian 100% bauran energi terbarukan dalam kelistrikan nasional pada tahun 2035, lima tahun lebih cepat dari proyeksi awal. Ambisi ini membutuhkan investasi kolosal sekitar US$ 171 miliar, dengan 70% di antaranya diharapkan berasal dari sektor swasta agar tidak membebani keuangan pemerintah. Peran pemerintah adalah menciptakan ekosistem yang kondusif bagi investor melalui perumusan kebijakan menarik dan pengalihan subsidi.

Transisi energi ini merupakan keharusan strategis untuk memanfaatkan potensi besar energi terbarukan Indonesia dan menjaga daya saing ekonomi global. Indonesia terus mendesak realisasi pendanaan transisi energi dari negara-negara maju, yang masih jauh dari komitmen yang dijanjikan. Selain itu, pemerintah juga harus menyelaraskan kebijakan dan berfokus pada solusi domestik untuk mengatasi dampak perubahan iklim dan polusi di dalam negeri.

You might also like