
Ketegangan geopolitik global meningkat tajam di tengah konflik Israel-Palestina, ancaman perang antara Israel dan Iran, serta keterlibatan Amerika Serikat. Situasi ini, menurut Chung Eunsook, Senior Emeritus Institut Sejong Korea Selatan, sulit dihindari dan berpotensi berdampak signifikan bagi negara-negara yang lebih lemah. Namun, di tengah krisis ini, Chung melihat peluang bagi negara-negara dengan kekuatan menengah, atau middle power seperti Korea Selatan dan Indonesia, untuk memperkuat pengaruhnya melalui kerja sama multilateral.
Salah satu contoh kerja sama tersebut adalah MIKTA, forum yang beranggotakan Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, dan Australia, yang didirikan pada tahun 2013. Korea Selatan, sebagai pemimpin MIKTA saat ini, memfokuskan kerja sama pada tiga isu utama. Pertama, pembangunan perdamaian, dengan penekanan pada pemberdayaan perempuan di wilayah konflik. Kedua, pembangunan kapasitas sumber daya manusia melalui keterlibatan pemimpin muda. Ketiga, implementasi Sustainable Development Goals (SDGs), termasuk penanggulangan perubahan iklim.
“Kesuksesan kerja sama MIKTA ini penting, tidak hanya untuk kepentingan nasional masing-masing negara anggota, tetapi juga untuk kerja sama multilateral dan bahkan global,” tegas Chung dalam diskusi bertajuk How Can MIKTA members Synergize to Reinvigorate Middle Power Diplomacy yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) bekerja sama dengan The Korea Foundation di Jakarta, Kamis (26/6/2025).
Penguatan relasi internasional ini menjadi tantangan tersendiri bagi Korea Selatan yang baru saja melewati periode politik domestik yang bergejolak. Presiden Lee Jae-myung, yang terpilih pada 3 Juni 2025 setelah pemakzulan Presiden Yoon Suk-yeol menyusul pemberlakuan darurat militer, segera memprioritaskan hubungan diplomasi.
Chung menilai, penguatan kerja sama melalui MIKTA, yang telah dipromosikan secara aktif, merupakan langkah penting dalam konteks ini. Hal ini ditegaskan oleh Kuasa Usaha Sementara di Kedutaan Besar Korea Selatan untuk Indonesia, Park Soo-deok. Ia menyebutkan bahwa Presiden Lee langsung menjalin komunikasi dengan para pemimpin negara lain setelah kemenangannya, terutama negara-negara anggota MIKTA.
“Presiden [Korsel] menelepon Pak Prabowo, bertemu Perdana Menteri Australia dan para pemimpin negara lainnya, terutama negara-negara MIKTA. Ini adalah negara-negara penting untuk membangun kekuatan middle power. Kita memiliki kesamaan nilai dalam forum ini,” ungkap Park. Dengan demikian, kerja sama MIKTA menjadi pilar penting bagi Korea Selatan dalam menghadapi tantangan geopolitik global dan memperkuat posisinya di kancah internasional.
Meningkatnya ketegangan geopolitik global mendorong Korea Selatan, sebagai pemimpin MIKTA saat ini, untuk memprioritaskan tiga isu utama dalam kerja sama multilateral. Isu tersebut meliputi pembangunan perdamaian dengan fokus pemberdayaan perempuan, pembangunan kapasitas sumber daya manusia melalui keterlibatan pemimpin muda, dan implementasi Sustainable Development Goals (SDGs), termasuk penanggulangan perubahan iklim.
Kerja sama MIKTA, yang melibatkan Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, dan Australia, dianggap penting bagi Korea Selatan untuk menghadapi tantangan geopolitik. Presiden Lee Jae-myung segera memprioritaskan hubungan diplomasi dengan negara-negara anggota MIKTA setelah terpilih, menekankan pentingnya kerja sama ini dalam memperkuat posisi Korea Selatan di kancah internasional sebagai kekuatan menengah.